BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ibn
Miskawaih membedakan antara pengertian hikmah dan falsafah. Menurutnya hikmah
adalah keutamaan jiwa yang cerdas yang mampu membeda-bedakan. Hikmah adalah:
bahwa engkau mengetahui segala yang ada sebagai adanya. Atau jika engkau mau
dapat kau katakana bahwa hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui perkara-perkara
ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual dapat membedakan
mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih tidak memberikan
pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian: bagian
teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang
mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan
kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak
ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan
moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi
dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang
dapat mebeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga
perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari
kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesame manusia
hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan pokok pikiran Miskawaih tentang pendidikan akhlak.
1.2 PERMASALAHAN
a)
Jelaskan pemikiran Ibn Miskawaih tentang
struktur jiwa/ruhani manusia (bidang ontology-metafisiska)!
b)
Uraikan pemikiran Ibn Miskawaih tentang
daya/kekuatan jiwa manusia dalam mendidik akhlak!
c)
Uraikan pemikran Ibn Miskawaih tentang
metode pendidikan akhlak!
1.3 TUJUAN PERMASALAHAN
a)
Mahasiswa mampu menjelaskan pemikiran
Ibn Miskawaih tentang struktur jiwa/ruhani manusia (bidang ontology-metafisika.
b)
Mahasiswa mampu menguraikan dan
menerapkan pemikiran Ibn Miskawaih tentang daya/kekuatan jiwa manusia dalam
mendidik akhlak.
c)
Mahasiswa mampu menguraikan pemikiran
Ibn Miskawaih tentang metode pendidikan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN IBN
MISKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
- DASAR PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH
a)
Konsep Manusia
Ibn Miskawaih mengatakan bahwa
jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat ruhani, suatu substansi
yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera. Jiwa tidak
bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa
dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu sama
lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu
yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau
hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi
maupun yang spiritual[1].
Ibn Miskawaih memandang
manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya
manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki
macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
- Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
- Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan.
- Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu
dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak
dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang
bertingkat-tingkat:
- An-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kejahatan atau keburukan.
- An-Nafs as-Sabu’iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan
dan sesekali 4mengarah kepada kebaikan.
- An-Nafs an-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya
menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs al-Bahimmiyyat)
dan berani (An-Nafs as-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir
(An-nafs an-nathiqat) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih
berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama
hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan
bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa
as-sabu’iyyat/al-ghadabiyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan
hubungan saling mempengaruhi.
b)
Konsep Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, akhlak
adalah suatu sikap mental (halun li an-nafs) yang mengandung daya dorong untuk
berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan[2].
Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang
berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan
akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan
perbuatan-perbauatan baik tanpa kesulitan.
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam
bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang
pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan
tengah.
Ibn Miskawaih secara umum
memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan
keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih
cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai
posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing
jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga
yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa
berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi
tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari
perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa
berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung
ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan.
Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau
keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak
tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia
lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan
cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah
dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari
al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin
ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai
ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros
tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan
boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia
selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi
gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan
ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di
bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa
dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus
menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok
keutamaan akhlak.
c)
Konsep Pendidikan
Ibnu Miskawaih membangun
konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan
Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun
adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih
dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan
Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin
yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang
bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
2. Fungsi
Pendidikan[3]
- Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini
mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada
makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala
makhluk yang ada mempunyai sendiri perilaku khusus yang tidak ada makhluk lain
yang bersektutu dengan daripada perbuatan/ perilakunya itu, yaitu segala
perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa
yang pertimbangannya paling jernih, penalarannyapaling benar, keputusannya
paling tepat, dialah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya.
Manusia yang paling utama
adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang
paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang
membedakan dia dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah
mendudukan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia
dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas
bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain.
- Sosialisasi individu manusia
Pendidikan juga haruslah
merupakan proses sosialisasi sehingga tiap individu merupakan bagian integral
dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajiakan untuk kebahagiannya bersama.
Miskawaih menegaskan bahwa
manusia dari antara segala makhluk hewan tak dapat mandiri dalam menyempurnakan
esensinya sebagai insane, tetapi tidak boleh tidak mesti dengan pertolongan
dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupannya yang baik dan
melaksanakan kewajibannnya dengan tepat. Berkata para hukama: manusia itu
secara alamiah makhluk social. Dia pada dasarnya adalah anggota masyarkat di
kota. Disitulah ditengah-tengah masyarakat terwujud kebahagian insaniahnya.
- Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan
kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiah.
Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecendrungan
syahwaniyah makan untuk mengembangkan fisiknya. Kemudian menyusul timbul
kekuatan imajinasi yang terbit dari penginderaan. Sesudah itu muncul kekuatan gadlabiyah/ kekuatan kemauan untuk
bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecendrungan. Setelah itu
lahir kekuatan tamyiz/ pertimbangan
nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi
sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini dinamakan ‘ aqil (L’enfant fait).
Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong
terwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan
terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insani), tujuan yang tak ada lagi
tujuan lainnya yaitu “ al- Khair al-Mutlaq”. Kebajiakn mutlak
yang diinginkan manusia.
3. Materi
Pendidikan Akhlak
Pada materi pendidikan Ibn
Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang
memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud
diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan
tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
- Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
- Hal-hal yang wajib bagi jiwa
- Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang
wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. Selanjutnya
materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan
oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan
segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait
dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu
Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia
agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang
sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu
tersebut ialah:
- Matematika
- Logika dan
- Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan
secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih
dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu
itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok
yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang
mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka
akan semakin tinggi pula akhlaknya.
4.
Pendidikan dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian
khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang
pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam
kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua
dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap
gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba
kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka
Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan
terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang
guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan
muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan
kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru
yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik
terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena
dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta
murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta
anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru
idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Adapun
yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal
karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain:
bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di
masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari
orang yang dididiknya.
Perlu
hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena
terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar
mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi
dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
5.
Lingkungan pendidikan
Ibn
Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat
dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial,
manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan
orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau
orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan,
rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara
diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan
makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering
bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah
yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain
dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih
merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang
satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada
dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk
mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait
dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai
kewajiban untuk menciptakannya.Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang
lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan
pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak
membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan
lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah
yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai
lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak.
Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan
pendidikan.
6. Metodologi
Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah
perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn
Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan
atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima
perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya
cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat
beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama,
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan
diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang
sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika
para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan
Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh
keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan
pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan
pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan
pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab
munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak
akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada
perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur
kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa
dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu
menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu
meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya
terhindar dari perhatiannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran pendidikan Ibn
Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak.
Konsep manusia adalah daya bernafsu (an-nafs al-bahimmiyyat) sebagai daya
terendah, daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, daya
berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi.
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam
bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang
pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan
tengah.
Dasar pendidikan Ibn Miskawaih
dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah
pendidikan akhlak. Konsep pendidikan ahklak dari Ibn Miskawaih dikemukakan
sebagai berikut:
- Tujuan pendidikan akhlak
- Materi pendidikan akhlak
- Pendidikan dan anak didik
- Lingkungan pendidikan
- Metodologi pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar