Jumat, 22 Februari 2013

PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
Ibn Miskawaih membedakan antara pengertian hikmah dan falsafah. Menurutnya hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas yang mampu membeda-bedakan. Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakana bahwa hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
    Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian: bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat mebeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesame manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan pokok pikiran Miskawaih tentang pendidikan akhlak.

1.2       PERMASALAHAN
a)    Jelaskan pemikiran Ibn Miskawaih tentang struktur jiwa/ruhani manusia (bidang ontology-metafisiska)!
b)   Uraikan pemikiran Ibn Miskawaih tentang daya/kekuatan jiwa manusia dalam mendidik akhlak!
c)    Uraikan pemikran Ibn Miskawaih tentang metode pendidikan akhlak!
1.3       TUJUAN PERMASALAHAN
a)    Mahasiswa mampu menjelaskan pemikiran Ibn Miskawaih tentang struktur jiwa/ruhani manusia (bidang ontology-metafisika.
b)   Mahasiswa mampu menguraikan dan menerapkan pemikiran Ibn Miskawaih tentang daya/kekuatan jiwa manusia dalam mendidik akhlak.
c)    Mahasiswa mampu menguraikan pemikiran Ibn Miskawaih tentang metode pendidikan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
  1. DASAR PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH
a)            Konsep Manusia
Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat ruhani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera. Jiwa tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu sama lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual[1]
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
  • Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
  • Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan.
  • Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
  • An-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
  • An-Nafs as-Sabu’iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali 4mengarah kepada kebaikan.
  • An-Nafs an-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs al-Bahimmiyyat) dan berani (An-Nafs as-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (An-nafs an-nathiqat) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa as-sabu’iyyat/al-ghadabiyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
b)           Konsep Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental (halun li an-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan[2]. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbauatan baik tanpa kesulitan.
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.
c)            Konsep Pendidikan
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
1.  Tujuan Pendidikan Akhlak
     Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
2.  Fungsi Pendidikan[3]
  • Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai sendiri perilaku khusus yang tidak ada makhluk lain yang bersektutu dengan daripada perbuatan/ perilakunya itu, yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih, penalarannyapaling benar, keputusannya paling tepat, dialah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya.
Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain.  
  • Sosialisasi individu manusia
Pendidikan juga haruslah merupakan proses sosialisasi sehingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajiakan untuk kebahagiannya bersama.
Miskawaih menegaskan bahwa manusia dari antara segala makhluk hewan tak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensinya sebagai insane, tetapi tidak boleh tidak mesti dengan pertolongan dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupannya yang baik dan melaksanakan kewajibannnya dengan tepat. Berkata para hukama: manusia itu secara alamiah makhluk social. Dia pada dasarnya adalah anggota masyarkat di kota. Disitulah ditengah-tengah masyarakat terwujud kebahagian insaniahnya.  
  • Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecendrungan syahwaniyah makan untuk mengembangkan fisiknya. Kemudian menyusul timbul kekuatan imajinasi yang terbit dari penginderaan. Sesudah itu muncul kekuatan gadlabiyah/ kekuatan kemauan untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecendrungan. Setelah itu lahir kekuatan tamyiz/ pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini dinamakan ‘ aqil (L’enfant fait). Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong terwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insani), tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya yaitu al- Khair al-Mutlaq”. Kebajiakn mutlak yang diinginkan manusia.
3.  Materi Pendidikan Akhlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
  • Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
  • Hal-hal yang wajib bagi jiwa
  • Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. Selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
  • Matematika
  • Logika dan
  • Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi  kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
4.  Pendidikan dan anak didik
     Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
     Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
     Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
     Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
     Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
5.  Lingkungan pendidikan
     Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
     Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
     Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
     Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
6.   Metodologi Pendidikan
     Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
     Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Konsep manusia adalah daya bernafsu (an-nafs al-bahimmiyyat) sebagai daya terendah, daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, daya berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi.
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan ahklak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
  • Tujuan pendidikan akhlak
  • Materi pendidikan akhlak
  • Pendidikan dan anak didik
  • Lingkungan pendidikan
  • Metodologi pendidikan


[1]    Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam (1995),  hlm. 172-173

[2]    Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al Falsafah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 70
[3]    Drs. H. Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Islam (1997), hlm38-42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar